Peristiwa di Jakarta pada 28 Agustus 2025 adalah tamparan keras bagi bangsa ini. Seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, meregang nyawa setelah terlindas kendaraan taktis Brimob saat demo berlangsung di Pejompongan. Nyawa rakyat melayang, sementara aparat berdalih menjalankan tugas. Pertanyaan besar pun muncul: apakah keselamatan manusia kini lebih rendah nilainya dibanding roda besi rantis milik negara?
Tragedi ini bukan sekadar “kecelakaan lalu lintas” seperti yang coba digambarkan sebagian pihak. Video dan kesaksian warga membantah narasi itu: korban terjatuh, rantis berhenti, lalu tetap melindas tubuhnya. Peristiwa itu terjadi di tengah kerumunan massa yang menjerit, namun aparat seakan tuli. Ini bukan musibah alam, ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap warganya.
Lebih memilukan, korban bukan bagian dari massa yang berorasi atau melakukan perlawanan. Ia hanyalah pengemudi ojol, rakyat kecil yang hidup dari jalanan, yang kebetulan terjebak di tengah demonstrasi. Ironi pahit ini membuktikan bahwa siapa pun bisa menjadi korban, bahkan mereka yang hanya berusaha mencari nafkah untuk keluarga. Jika rakyat kecil pun tak aman dari aparat, lalu siapa yang bisa merasa aman?
Kita harus bicara terus terang: ini bukan kasus pertama. Rekam jejak Polri dalam mengawal aksi massa dipenuhi darah dan air mata. Dari tragedi Trisakti, Semanggi, hingga kasus tewasnya mahasiswa Kendari pada 2019, pola yang sama terus berulang—aparat bertindak represif, rakyat terluka, nyawa melayang, lalu kasus menguap tanpa keadilan. Polri selalu berlindung pada kata “oknum”, padahal pola kekerasan ini sudah menjadi budaya.
Lebih parah lagi, nyawa rakyat seakan hanya dipandang sebagai angka. Satu mati, dua luka, belasan ditangkap, lalu selesai. Tidak ada tanggung jawab moral, tidak ada empati tulus dari institusi yang mengklaim dirinya sebagai pengayom masyarakat. Padahal, UUD 1945 dengan jelas menegaskan: negara wajib melindungi segenap bangsa. Kenyataannya, rakyat justru harus melindungi diri dari negara.
Maka wajar bila publik semakin kehilangan kepercayaan. Polri yang seharusnya menjadi wajah keadilan, kini lebih sering dilihat sebagai simbol ketakutan. Keberadaan polisi di jalan tidak lagi memberi rasa aman, justru menciptakan rasa waswas: apakah mereka akan menilang, memukul, atau bahkan melindas? Situasi ini jelas abnormal dalam sebuah negara hukum.
Lebih dari sekadar kegagalan individu, ini adalah kegagalan sistemik. Pendidikan polisi masih mengandalkan pendekatan militeristik, bukan pendekatan humanis. Kekerasan dianggap cara paling mudah untuk mengendalikan rakyat, padahal demokrasi menuntut dialog, bukan intimidasi. Selama mentalitas ini tidak diubah, tragedi serupa akan terus berulang.
Oleh karena itu, investigasi internal Polri bukan lagi jawaban. Publik sudah terlalu sering dikecewakan oleh sandiwara semacam ini. Yang dibutuhkan adalah investigasi independen dengan melibatkan Komnas HAM, lembaga bantuan hukum, serta organisasi masyarakat sipil. Hanya dengan transparansi penuh, kebenaran bisa muncul dan keadilan ditegakkan.
Namun, kita juga perlu berani melangkah lebih jauh. Jika Polri terbukti tidak bisa direformasi, maka opsi pembubaran harus dipertimbangkan serius. Tidak ada institusi yang lebih tinggi dari rakyat. Bila polisi lebih banyak melukai daripada melindungi, keberadaannya layak dipertanyakan. Sejarah membuktikan, institusi yang korup dan brutal hanya bisa diselamatkan dengan dibongkar habis-habisan.
Tentu, pembubaran bukan berarti kekacauan. Justru, itu bisa menjadi jalan untuk membangun ulang kepolisian yang benar-benar humanis, transparan, dan berpihak pada rakyat. Model reformasi radikal sudah pernah ditempuh di beberapa negara, dan Indonesia pun bisa belajar dari pengalaman itu. Yang penting, keberanian politik dan dukungan rakyat harus berjalan seiring.
Tragedi 28 Agustus harus jadi titik balik. Jika kita kembali diam, maka Affan Kurniawan hanya akan menjadi satu nama dalam daftar panjang korban aparat. Tapi bila kita bersuara, bersatu, dan menolak tunduk pada ketakutan, maka nyawanya tidak sia-sia. Nyawa rakyat tidak boleh diperlakukan seperti nyawa semut. Setiap warga negara berhak atas perlindungan, bukan pelindasan.
Pada akhirnya, tragedi ini bukan hanya tentang Affan Kurniawan, tapi tentang kita semua. Tentang bagaimana negara memperlakukan warganya, tentang bagaimana aparat menggunakan kekuasaan, dan tentang keberanian rakyat untuk menuntut keadilan. Jika Polri masih ingin dipercaya, mereka harus berubah total. Jika tidak, rakyat berhak berkata: lebih baik Polri dibubarkan daripada terus membunuh rakyatnya sendiri.
Oleh: Septia Arya Nugraha
Mahasiswa Universitas Mataram, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan