Eksistensi Kohati dalam Mengawal Perubahan Sosial: Dari Ruang Kaderisasi ke Ruang Publik

Latihan Khusus Kohati (LKK) bukan sekadar forum pengayaan materi, melainkan ruang pembentukan kesadaran. Dari sinilah kita belajar bahwa eksistensi Kohati tidak boleh berhenti pada wacana, tetapi harus berlanjut menjadi gerakan yang mengawal perubahan sosial.

Sebagai peserta Latihan Khusus Kohati (LKK), saya memandang eksistensi perempuan, terutama kader Kohati, tidak boleh diukur dari seberapa ramai seremoni yang dibuat atau seberapa banyak unggahan media sosial yang kita hasilkan. Ukuran sejati adalah apakah keberadaan kita memberi perubahan yang nyata, terutama bagi mereka yang paling rentan: perempuan korban pelecehan seksual, perempuan yang suaranya dipinggirkan, atau mereka yang masih dibatasi oleh stereotip gender.

Data menunjukkan situasi yang belum membaik. Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) 2024 mencatat 330.097 kasus kekerasan terhadap perempuan, naik lebih dari 14% dari tahun sebelumnya. Di perguruan tinggi, sepanjang 2021–2024 masih ada puluhan laporan kekerasan seksual, sementara aduan pada 2024 menembus ribuan. Realitas ini menjadi cermin bahwa eksistensi kita belum cukup kuat di ruang publik.

LKK Kohati memberi saya kesadaran bahwa ruang kaderisasi bukanlah tujuan akhir, melainkan titik berangkat. Dari forum diskusi, kajian, dan dialektika nilai, kita ditantang untuk menjawab persoalan nyata yang menimpa perempuan. Eksistensi Kohati akan diuji bukan hanya dengan kemampuan berargumen, tetapi sejauh mana kita berani mengawal korban, menagih implementasi aturan, dan menolak setiap bentuk kekerasan maupun diskriminasi.

Di era digital, ancaman Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) semakin tinggi. Indonesia dengan sekitar 221,5 juta pengguna internet dan Indeks Literasi Digital 3,65 (skala 1–5) menunjukkan bahwa tantangan ini nyata dan perlu dijawab. Kehadiran Kohati harus mampu memberikan literasi digital yang aplikatif: mengajarkan keamanan akun, membangun budaya komunikasi yang tidak menyalahkan korban, serta memastikan adanya SOP pendampingan yang mudah diakses kapan saja. Eksistensi di ruang digital hanya bermakna jika Kohati benar-benar menghadirkan perlindungan, bukan sekadar kampanye simbolis.

Kesetaraan gender juga menjadi isu penting yang tidak boleh dilepaskan. Partisipasi perempuan dalam organisasi maupun ruang publik sering kali masih dianggap sekadar pelengkap. Padahal, kehadiran Kohati harus menjadi penegas bahwa perempuan adalah subjek perubahan. Bukan hanya hadir, tapi juga berperan aktif dalam pengambilan keputusan, advokasi, dan pengawalan isu-isu kebijakan, termasuk implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Bagi saya pribadi, mengikuti LKK Kohati adalah bekal. Bekal nilai, bekal kesadaran, dan bekal keberanian untuk keluar dari ruang kaderisasi menuju ruang publik. Eksistensi Kohati harus dikenali bukan dari slogan, melainkan dari keberpihakan nyata: pada korban pelecehan yang menemukan jalur aman untuk melapor, pada mahasiswi yang berani menyuarakan aspirasi, dan pada ruang publik yang lebih setara bagi perempuan.

 

Oleh : Isfiani

(Peserta LKK KOHATI HMI Cabang Samarinda 2025)

Array
Related posts
Tutup
Tutup