Empat tahun kepemimpinan Rektor seharusnya menjadi masa penguatan institusi, penegakan nilai-nilai akademik, serta penciptaan ruang aman bagi seluruh sivitas akademika. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: kampus hari ini berada dalam krisis moral dan kepemimpinan. Salah satu indikasi paling mencolok dari kegagalan ini adalah maraknya kasus kekerasan seksual yang mencuat dalam pemberitaan belakangan ini.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Lembaga UIN Care, terdapat 25 kasus kekerasan seksual yang telah masuk. Namun, alih-alih ditindaklanjuti, para korban justru dibungkam. Pimpinan tertinggi Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, yakni Rektor, tidak mengambil langkah yang tegas dan berpihak. Lembaga seperti UIN Care, yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam pendampingan korban dan edukasi pencegahan kekerasan seksual, justru kehilangan independensinya. Alih-alih berpihak pada korban, lembaga ini lebih sibuk menjaga “citra baik kampus” yang semu. Hal ini mencerminkan betapa rusaknya sistem yang dipimpin oleh Rektor UIN Mataram, di mana pelaku dan institusi justru dilindungi, bukan korban.
Ini bukan sekadar persoalan administrasi yang lemah atau komunikasi yang buruk. Ini adalah kegagalan moral. Rektor telah gagal menjadi pemimpin yang visioner, humanis, dan bertanggung jawab. Ketika mahasiswa merasa takut untuk melapor, ketika dosen pelaku masih bebas mengajar, dan ketika suara korban dibungkam dengan dalih menjaga “nama baik”, maka tidak ada lagi yang pantas dibanggakan dari institusi ini.
Di sisi lain, arah kebijakan pembangunan institusi juga menunjukkan disorientasi prioritas. Pembangunan infrastruktur fisik yang megah tidak selalu sejalan dengan peningkatan mutu akademik maupun kenyamanan sivitas akademika. Ketika laboratorium kekurangan alat, ruang kelas mengalami overkapasitas, dan sistem pelayanan akademik tidak efisien, muncul pertanyaan kritis: apakah indikator kemajuan kampus hanya diukur dari beton dan bangunan, bukan dari kualitas dan relevansi proses pendidikan?
Lebih dari itu, Rektor sebagai pucuk pimpinan perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral dan struktural dalam membina organisasi kemahasiswaan yang transparan, partisipatif, dan berorientasi pada kepentingan bersama. Namun realitas di lapangan menunjukkan minimnya pembinaan yang serius, kurangnya ruang dialog, serta pengambilan keputusan yang cenderung tertutup dan mengarah pada kepentingan kelompok tertentu. Ini mencerminkan kegagalan dalam mewujudkan tata kelola organisasi mahasiswa yang sehat dan akuntabel.
Sudah saatnya kita tidak lagi diam. Mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan seluruh elemen kampus harus bersuara. Kita harus mendesak pertanggungjawaban yang jelas, transparan, dan tuntas. Kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga ruang hidup yang seharusnya aman dan adil.
Jika institusi tidak bisa melindungi yang paling rentan, maka institusi itu tidak layak menyandang gelar “rumah ilmu dan peradaban.” Sudah cukup empat tahun ketidakadilan. Kini saatnya perubahan. Dari berbagai kasus yang beredar—mulai dari pelecehan seksual hingga kesemrawutan dalam pembangunan—jelas bahwa Rektor UIN Mataram telah gagal dalam mengemban amanah dan menjaga kepercayaan mahasiswa.
Penulis: Firman Sopandi (Mahasiswa UIN Mataram)