Demokrasi Titipan dan Hilangnya Kedaulatan Rakyat

Demokrasi yang kita rayakan hari ini sering dielu-elukan sebagai bukti kematangan politik bangsa. Namun di balik pesta demokrasi lima tahunan, ada kenyataan pahit yang sulit ditelan: rakyat bukan lagi pemilik suara. Mereka hanya penonton dalam panggung kekuasaan, sementara naskahnya ditulis oleh segelintir elit yang tunduk pada modal dan kepentingan asing. Demokrasi yang lahir dari rahim perjuangan, kini menjelma menjadi bayi titipan yang diasuh oleh mereka yang bahkan tak pernah berdiri dalam barisan rakyat ketika sejarah sedang ditulis dengan darah dan air mata.

Kata “titipan” menyiratkan sesuatu yang bukan milik kita sepenuhnya. Begitu pula demokrasi kita — dibungkus rapi dengan jargon kedaulatan rakyat, tetapi dikunci rapat oleh tangan-tangan yang tak pernah menyentuh tanah tempat rakyat berdiri. Rakyat menjadi pembayar setia ongkos politik, namun tak punya kuasa menentukan arah kapal besar bernama negara. Kita seolah memiliki kebebasan memilih, padahal pilihan itu disaring, diatur, dan dipoles agar sesuai selera para pemilik kuasa di belakang layar.

Sejak awal reformasi, sistem politik kita dibentuk bukan hanya oleh kehendak rakyat. Ada cetak biru yang disusupkan oleh lembaga internasional, donor asing, dan elite partai yang mempelajari demokrasi bukan sebagai nilai luhur, melainkan sebagai teknik mempertahankan kekuasaan. Alih-alih tumbuh menjadi sistem yang mandiri, demokrasi Indonesia berkembang dengan “buku panduan” yang diselipkan pihak luar — buku yang setiap halamannya memuat kepentingan mereka, bukan cita-cita kita.

Kini kursi kekuasaan lebih banyak dimenangkan oleh modal daripada moral. Politik uang menjadi jembatan menuju kekuasaan, dan di seberang sana, pemimpin terikat utang budi pada penyandang dana. Dalam lingkaran itu, kedaulatan rakyat hanyalah slogan yang diulang-ulang; yang berdaulat sesungguhnya adalah para investor politik yang menitipkan agendanya. Pemimpin tak lagi memandang rakyat sebagai tuan, melainkan sebagai aset yang harus dikelola demi melanggengkan kekuasaan.

Rakyat pun terdegradasi menjadi sekadar objek politik. Mereka hanya dipanggil saat musim kampanye, diberi janji manis yang akan basi begitu bilik suara ditutup. Aspirasi tak lagi lahir dari percakapan dua arah, melainkan berubah menjadi monolog sepihak dari penguasa. Demokrasi yang sejatinya adalah ruang publik kini menyusut menjadi ruang privat para elit.

Dampak dari demokrasi titipan ini jelas terasa. Kebijakan publik tak lagi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat banyak, melainkan mengamankan keuntungan bagi segelintir kelompok. Dari pengelolaan tambang, privatisasi layanan publik, hingga pengaturan pasar, semuanya diatur agar aliran keuntungan tetap mengucur ke kantong yang sama — kantong para penitip kekuasaan.

Media, yang seharusnya menjadi anjing penjaga demokrasi, tak jarang berubah menjadi corong kepentingan. Framing berita diatur sedemikian rupa untuk menghaluskan skandal, menghapus jejak pelanggaran, dan mengemas kebijakan bermasalah seolah-olah itu demi rakyat. Informasi yang kita terima sering kali sudah melalui penyaringan yang menguntungkan pihak tertentu, membuat publik kehilangan akses pada kebenaran yang utuh.

Demokrasi titipan adalah bom waktu yang terus berdetak. Ia mengikis kepercayaan publik terhadap sistem politik, menumbuhkan apatisme, dan membentuk generasi yang tak lagi percaya pada kekuatan suara mereka sendiri. Rakyat yang apatis akan memilih diam, dan diam adalah kemewahan yang hanya menguntungkan penguasa korup.

Merebut kembali demokrasi dari tangan para penitip adalah pekerjaan besar yang menuntut keberanian kolektif. Reformasi politik harus berani menyingkirkan politik uang, membatasi biaya kampanye, memperkuat hukum yang independen, dan mengembalikan kontrol rakyat melalui partisipasi langsung yang nyata. Demokrasi yang sehat hanya bisa lahir jika ia dipelihara oleh rakyat, bukan oleh mereka yang menitipkan kepentingan di balik layar.

Demokrasi bukan barang titipan yang harus kita rawat sesuai instruksi pemiliknya. Ia adalah hak rakyat, hasil keringat, darah, dan air mata yang dibayar mahal oleh sejarah. Jika kita terus membiarkan demokrasi menjadi titipan, maka suatu hari nanti kita akan benar-benar kehilangan hak untuk menyebut diri kita bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.

Penulis: Septia Arya Nugraha
Wasekum Bidang Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi
HMI Komisariat FKIP Universitas Mataram

Array
Related posts
Tutup
Tutup